Tahapan Perkembangan Sains


Seperti yang telah diketahui bersama bahwa perkembangan pola pikir manusia senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Dari yang semula menganut mitos (pahamnya disebut mitologi) sebagai jawaban atas fenomena alam yang terjadi, kini manusia menggunakan akal dan pikiran untuk menjawab segala pertanyaan. Langkah-langkah yang digunakan pun lebih sistematis karena mengekspresikan mengenai cara bekerja pikiran, yaitu menggunakan pola pikir deduktif dan induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya. Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional pada pengetahuan yang diperoleh dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Namun meskipun argumentasi secara rasional telah teruji kebenarannya, terkadang terdapat pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi.  Oleh karena itu, maka dipergunakan pula cara berpikir induktif.
Ilmu pengetahuan (sains) tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a)      Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional.
Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat.
Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles, dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam struktur terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan lain. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan. Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1)      Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2)      Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode. Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.
b)      Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17 sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisik dan beralih ke elemen-elemen yang terdapat pada suatu benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur, karena ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di samping materi.
Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio. Agar dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles.
Perubahan pola pikir manusia pada dua periode tersebut juga tidak lepas dari munculnya zaman Renaissance. Renaissance pertama kali diperkenalkan di Eropa Barat, di kawasan Italia. Hal ini di picu kekalahan tentara salib dalam perang suci. Kekalahan tersebut membuat para pemikir dan seniman menyingkir dari Romawi Timur menuju Eropa Barat. Mereka menyadari telah dimulainya masa mesiu peledak dan untuk menguasai teknologi tersebut mereka harus melepaskan diri dari pengaruh mistisme zaman pertengahan dengan kembali kepada sains zaman klasik yang sebelumnya dilarang karena dianggap pelanggaran terhadap misi ketuhanan.
Adanya pertentangan antara gereja dan ilmu pengetahuan ini mendapatkan kritikan dari para pengikutnya diantaranya,  Nicolas Copernicus (1543 M), seorang pendeta, mencetuskan teori Helios Centrism. Teori tersebut menentang kebijakan gereja yang selama ini mempunyai faham filsafat Ptolemaist yang mengatakan bahwa bumi sebagai pusat tata surya. Paham Copernicus langsung di bungkam oleh pihak gereja akan tetapi pihak gereja tidak memberikan hukuman terhadap Copernicus dikarenakan dia adalah seorang pendeta. Pihak gereja hanya melarang bukunya yang berjudul “De Revolution bus“, tersebar dan memasukkannya terhadap buku-buku Terlarang. Faham Helios Centrist kemudian dikumandangkan kembali oleh fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571-1630) dan Galileo (1564-1642) dengan penemuan  teleskop sederhana yang menjadikan dia (Galileo) harus di penjara hingga umur 70 tahun.
Pada Tahun 1642 bertepatan dengan meninggalnya Galileo lahirlah ilmuwan baru Isaac Newton, seorang penemu teori Gravitasi Bumi, sehingga dengan penemuannya dia berhasil mendobrak kebodohan Gereja dan mengubah worldview baru bagi eropa dalam memahami agama. Newton bukan saja mengkritik gereja dalam masalah sains akan tetapi dia juga mengkritik teori Trinitas, seperti yang dikatakan dalam bukunya The Philosophical Origins of Gentile Theology, bahwa sebenarnya nabi Nuh telah membuat agama bebas takhayul dimana tidak ada kitab suci yang berisi wahyu-wahyu dan tidak ada lagi misteri , tapi Tuhan yang bisa dikenal melalui perenungan Rasional terhadap alam semesta.
Keruntuhan otoritas Gereja menjadikan bangsa Eropa terbagi menjadi dua aliran dalam memahami Agama, Pertama, Aliran Deisme, dimana aliran ini masih mempercayai akan adanya Tuhan tapi tidak mempercayai akan ayat-ayat tuhan. Aliran Kedua, adalah Ateisme atau Materialisme, yang pertama meluncurkan gagasan ini adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831 M) dengan menyatakan dalam bukunya Phenomenology of Mind (1807 M) bahwa Roh Universal hanya bisa mencapai kesempurnaan jika ia menenggelamkan dirinya ke dalam kondisi-kondisi batas ruang dan waktu; Roh universal paling mungkin di wujudkan dalam pikiran manusia. Jadi, manusia juga harus mencampakkan konsep lama tentang Tuhan transenden, supaya ia dapat memahami bahwa dirinya memiliki sifat Tuhan juga
Kedua faham inilah yang merasuki masyarakat Eropa dari mulai akhir abad ke 17 masehi sampai sekarang, sebagai konsekuensi sekaligus rival atas kebobrokan otoritas gereja yang selama beratus-ratus tahun bangsa Eropa merasa di bodohi dan di kekang oleh nya. Sehingga mereka menamakan jaman sebelum revolusi dan reformasi sebagai The Dark Age dan menamakan jaman setelahnya sebagai Renaissance. Saat itu, Renaissance lahir sebagai pembaharu untuk membentuk manusia yang mandiri, utuh, otonom, dan bertanggung jawab. Pola pikir abad tengah (terbelenggu ajaran gereja; disalahgunakan) diganti dengan pola pikir rasional baik SDA maupun SDM nya sehingga manusia bisa berkembang.
1.      Perubahan pada SDM
a)      Perubahan pola pikir emosional menjadi rasional. Pemikiran yang rasional menjadi dasar utama untuk mengungkap rahasia alam, bukan melalui agama. Agama gereja mulai ditinggalkan.
b)      Pada jaman abad tengah, kehidupan di Eropa diatur oleh ”Theosentris’’ yaitu segala sesuatu berpusat pada kepercayaan. Namun setelah muncul Renaissance, kehidupan mereka diatur oleh ’’Anthroposentris’’ yaitu segala sesuatu yang dilakukan berpusat pada manusia. Pada abad tengah mereka percaya pada takdir, tapi pada renaissance mereka percaya pada nasib.
c)      Pada jaman abad tengah segala sesuatu dilakukan secara kolektif. Sebaliknya pada jaman renaissance, segala sesuatu dilakukan secara individual.
d)      Pada jaman abad tengah segala sesuatu dilakukan berdasarkan spiritual. Dan di jaman renaissance, segala sesuatu dilakukan berdasarkan materi.
2.      Perubahan pada Kebudayaannya
Pada perubahan kebudayaan ini yang ditekankan adalah membentuk manusia yang humanis. Humanisme adalah proses pembentukan manusia yang otonom, rasional, bebas, bertanggung jawab, sehat fisik dan spiritual. Perubahan kebudayaan ini adalah pada bidang seni, yaitu seni bangunan / arsitektur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar